Bra Sejarah ...

Kategori : Sastra Tanggal : 23 Desember 2005
Pengirim : denny Rating :
Bra Sejarah
by VR Oembas
Writer Sulutlink


Pesawat-pesawat Permesta seperti B-26, T-51, Catalina, Lochkeed dihancurkan AURI di lapangan Mapanget Manado. Pasukan KKO pimpinan Mayor Ali Sadikin berhasil mendaratkan dan menduduki kota Amurang, tak berapa jauh dari wilayah penyingkiran di daerah kolonisasi Tompaso-Baru. Beberapa wilayah utama Minahasa telah berhasil diduduki tentara pusat. Berita kekalahan tentara Permesta yang menjadi liar, terdengar di radio yang cuma dimiliki oleh Ko Leng, satu-satunya di penyingkiran, lalu menyebar ke seluruh kampung.


Beberapa tahun kemudian, keadaannya sudah benar-benar pulih. Wilayah penyingkiran kini sudah menjadi normal. Hanya saja kondisi ekonomi benar- benar lumpuh, beras menjadi sangat mahal, dan pakaian pun nyaris tak terbeli.


Meski masih dililit rasa takut, perlahan masyarakat mulai kembali menanami kebun yang sudah ditinggal selama pergolakan Permesta. Seperti warga kampung lain, Tasyapun sudah menanami sedikit ubi jalar, ketela pohon dan jagung untuk sepenggal tanah peninggalan orang tuannya yang tertinggal sejak sejarah kelam Perang saudara pergolakan Permesta. Sekolah pun mulai dibuka dan adik Tasya, Inyo mulai belajar di kelas satu saat usiannya memasuki tiga belas tahun. Tasya sudah tumbuh menjadi gadis remaja pada usianya yang hampir enam belas saat itu yang terus menghadapi pahitnya himpitan kehidupan. Meski tak bisa terus melanjutkan sekolah, Tasya bertekad mengupayakan adik- adiknya yang tiga lagi agar tetap bersekolah walau harus dengan berjuang keringat darah untuk itu.


"Saya akan membatu kakak saja mencari uang untuk biaya adik-adik."kata Inyo luguh yang langsung dibantah kakaknya.
"Tahu apa kau soal biaya. Sudah, pikirkan saja sekolahmu. Ingat pesan Papa, kamu harus terus sekolah sampai tinggi,"kata Tasya mengingatkan adiknya, lalu kemudian merenung tentang arti kata tinggi yang baru saja dia ucapkan. Tinggi. Sepertinya aku terlalu pendek dan kerdil untuk menggapai sesuatu yang tinggi. Tapi suara Papa selalu saja singgah di telinga. Where is a will, there is a way, katanya sehari sebelum peluruh panas anggota pasukan Brigade 999 menembus jantungnya.


Kenapa hidup hanya berputar putar di situ. Kematian, kejahatan, kebengisan, dan fitnah kedengkian hati telah dibayar dengan harga darah dan sejarah kelam orang-orang tak berdosa. Seorang telah menfitnah ayahku yang mantri air untuk saluran-saluran air di persawahan, dan menuduh ayahku mata-mata tentara pusat, APRI*). Sementara Ibu sudah lebih dahulu menemui ajal saat sampar mewabah di wilayah pengungsian. Dan aku kini cuma bisa tertunduk galau meratapi masa lalu.
Tapi hidup harus terus berlangsung. Aku ibu juga sekaligus ayah adalah gadis kecil, remaja yang baru belajar mengenal bulan kapan datang kapan pergi. Baru mengenal anggota tubuh baru, dan lekukan lekukannya yang baru kulihat satu tahun terakhir ini. Itu pun, karena tante Usi yang menghadiakan cermin saat ulang tahunku tahun kemarin.
***
Tasya kecil itu kini tumbuh menjadi putri molek lagi manis menawan. Senyum yang tanpa sadar terkembang meyinggahi mata-mata liar yang terperangkap dalam keelokan tubuhnya, menjadi pemikat yang menyiksa raga dan pemiliknya.


Dia kini jelmaan dewi. Lekukan tubuhnya baru saja selesai dilukis sempurna tanpa goresan keliru. Malam bermandikan sinar bulan, dan Tasya duduk termanggu didepan rumah tua.


Sudah sangat larut, dan dunia pun sudah lupa terhadap keindahan saat pelupuk mengeram diperaduan. Tapi dia masih berjulur, di bangku bambu yang sudah reot, pemilik tubuh sintal itu termanggu walau jiwanya bertamasya sebentar mengunjungi berbarapa pemilik nama; Engel, Ludwiq, Lontok, Kentei. Mereka laki-laki yang menyeruak kepermukaan yang hendak merebut hatiku. Para pangeran penglana mencari cinta. Empat laki laki itu terakhir yang paling sering menggodaku bila aku pulang dari kebun menyinggahi mata air gunung untuk anasir kehidupan; minum dan masak.


Di kosok yakni tempat pemandian di lembah bukit ujung kampung di mana air kandung bumi tak lelah mengalirkan air, selalu para lelaki pemburuh cinta menanti tambatan hatinya. Bila bambu telah penuh terisi air, Engel sering menawarkan jasanya mengantarkan sampai ke rumah. Ludwig juga sama. Lontoh yang paling iseng, suka colak-colek. Kentei tipe laki-laki pemalu. Dia pernah mengirim surat cinta dengan menyelipkannya dijendela rumahku. "Dasar... "


Sebenarnya Ludwiq orangnya baik. Aku suka dia. Pernah sekali dia menawarkan jasa membawa katub katub bambu yang berisi air untuk kehidupan aku dan adik-adiku. Sampai didapur aku pun menawarkan dia segalas air minum dan ubi rebus yang seharusnya dijatah untuk adiku. Dia tak menolak dan mulai makan. Hari masih terlalu siang waktu itu, dan adik adik sedang main dirumah tentangga. Eh, diam- diam dia mendekati aku dan memelukku. Spontan aku berontak dan memukulinya.


"Kamu jahat,"katanya. Lalu beranjak pergi. Lho yang jahat itu siapa pikirku waktu itu. Sejak itu, dia tak pernah lagi menawarkan jasanya. Sayang padahal orangnya ganteng, lagi rajin. Dia telah mengantarkan kehidupan di gubuk hatiku, tapi dia menodainya.


Kalau saja dia mau berbagi beban dengan aku. Atas nama mata air di Kosok, aku telah relah... Mungkin beban berat menanggung adik-adiku yang masih kecil-kecil bisa lebih ringan.


Hem.. Tapi aku sempat merasakan kehangatan tubuhnya. Sekejap yang membuat jantungku berdebar atas kejut nadi diseluruh aliran kesadaranku. Sel- sel tubuhku terasa beku sebelum motorik sepat mencapai kesadaranku. Satu detik bagai di nirawana, aku telah berkenalan dengan apa yang disebut Tante Sarce, birahi. Mirip ulasan dalam psikologi remaja, buku ayahku yang sudah empat kali aku baca.


"Oh Tuhan. Itukah takdir atas wanita yang selalu menjadi objek kenikmatan laki-laki."


Tante Sarce yang pernah kupergoki sedang berpelukan mesra dengan Sersan Kembot tentara pusat yang cuma datang seminggu sekali di pengungsian.


Tante Sarce mengancamku dan menyuruh tutup mulut. Dan memang mulutku terus terkatup kecuali bayang-bayangnya dan Sersan yang tak pernah hilang di halaman belakang korteks cerebrum kepalaku. Belakangan Tante yang menjanda karena suaminya tak pulang dari perang Trikora, pula telah berbuat begitu banyak baik kepada kami. "Kenikmatan." Begitu kata Tante Sarce. Kenikmatan yang mungkin telah mengantar pada kematiannya karena dicurigai oleh tentara Permesta sebagai mata-mata serdadu APRI.


Visualisasiku bersih mengingat kejadian itu. Tante Sarce menggeliat mengerang entah kenapa. Juga sersan Kembot. Seperti itu jugakah Ludwig. Engel. Ah lupakan. Aku tak mau ngelantur. Dan gadis itu mulai mencoba mencari bayang bayang lain untuk lari dari kepenatan jiwanya. Tashya masih duduk melamun. Pikirannya tetap liar menyinggahi tempat-tempat yang belum pernah ditemuinya. Kemaluan. Dadanya yang mulai mengembang. Dan pinggulnya yang terus melebar, satu jerawat dipipihnya muncul sebelum cairan merah bening memenuhi satu-satunya celana dalamnya suatu malam, besok malam dan malam-malam seterusnya hampir seminggu.


Kok. Adik ku belum juga pulang. Ke mana dia. Biasanya dia sudah tidur malam ketika bulan ada di lintang 90 derajad dari timur, dia sudah pulas.. Kecuali aku yang biasanya bangun untuk bermandi cahaya bulan. Menikmati hawa dingin malam penuh birahi.


Aku akan membiarkan Ludwig atau Engel memperkosa aku. Dan beban ku akan dikurangkan bila nanti salah seorang dari mereka meniduri aku. Ya, aku melakukan karena cintaku untuk adik-adiku juga kepada orang-tuaku yang telah berpesan untuk menjagai adik-adiku pula buah hati hasil cinta dan percintaan kedua orang tuaku.


Bulan terus mengejar sang Mentari yang sudah entah dibelahan bumi yang mana. Dalam kegundahan hati, Tasya mulai cemas. Tak lagi asmara yang mengganngunya. Tapi soal Adiknya yang dikasihinya itu tak kunjung tiba. Akhirnya dari kejauhan di sudut lorong kalbu, di pelupuk banyang- bayang bergerak memberi pesan kepulangan adiknya. Semakin lama kian dekat dan singgah ke rumah tua kecil kediaman empat manusia tak berorang tua.


"Maaf dek Tasya. Adikmu membantu Ngko tadi di walung. Habis jaga gilingan padi tadi siang, Ngko minta dia bantuin ngatul jualan di walung. Ini balu selesai."tutur laki-laki gendut pendek yang tak bisa ber"r" yang segera aku kenali dia, Engko Peng Lan keturunan Cina yang lolos dari sergahan tentara liar bekas permesta karena dia punya ruang sembunyi bawah tanah. Cuma barang-barangnya yang dirampoki dan beberapa buku-buku kiri juga kamus Inggris-Mandarin yang dibakari. Kata Kuk Peng, kamus itu lebih mahal dari pada seluruh barang jualan yang dijarahi tentara-tentara liar itu. Dulu sebelum ayah dibunuh tentara-tentara itu, Ku Peng sering main ke rumah, dengan ayah sering bertukar-tukar buku, komik, dan kadang buku-buku yang sangat rahasia tentang marxisme dan komunisme. Dia kini sudah dagang lagi, tak kapok, dan adikku juga aku sering membantu warungnya juga gilingan padi yang tak sempat dihancurkan tentara liar. Kami mendapat upah sekedar untuk makan aku dan adik adik.


Jadi aku tak kuatir karena tahu, adiku datang dengan Ngko Peng. Laki-laki gendut itu telah menghilang seiring dengan perginya angin menghembus relung sukma. Adikku cuma diam tak berbahasa, kecuali aku yang maklum kalau sekarang dia berusaha bekerja keras pada ngko Peng Lan yang telah menjanjikan membiayai sekolahnya.


"Ini kak, aku telah diupah, tadi sore sebelum kembali lembur malam di rumah ngko Peng."Adikku menyerahkan kantong plastik lalu bergegas masuk kamar.


Di bungkusan dalam tas plastik itu ku dapati benda-benda aneh mirip yang dikenakan oleh tante Sarce tempo hari. Celana dalam (CD) dan BH (bra).


Kurang ajar.... Anak kecil itu sudah berani-berani memperolok kakaknya sendiri. Segera aku masuk ke kamar yang cuma satu dan kutampari adiku, susul menyusul. Dia terkapar tapi tak menangis. Adikku. Kenapa kau berani memperolok kakakmu sendiri. Tanyaku segera setelah emosiku turun.


"Pelan- pelan kak ngomonnya. Si Inoi dan Chelin nanti bangun,"katanya sambil melirik ke luar kamar. Selesaikan diluar kamar, isyarat matanya.
Aku masih marah dan penasaran dengan benda-benda asing yang baru saja di bawahnya. Aku toh masih bisa menjaga diriku. Walaupun susah, aku masih bisa membeli celana dalam sendiri. Dan mengatur sendiri kewanitaanku.


"Kak..., aku sayang sama kakak,"katanya memulai. Lalu disusul dengan penjelasan yang sangat hati-hati, diplomatis.


Kakak bukan anak kecil lagi. Ketika kita main gulat di lantai dulu, mandi di halaman saat hujan lebat turun sambil lempar-lemparan becek. Berenang bugil di kali konarom bila habis membantuh Om Joop di sawanya.


Dulu waktu itu kakak anak perempuan kecil ingusan yang tak berbentuk. Sekarang kakak seorang gadis cantik. Ludwig dan Engel telah menaruh hati pada kakak, dan semua orang tahu gelagat dua pemuda itu. Aku juga pernah melihat kakak dipeluk Ludwig dan aku tak berani interupsi. Si kecil bercerama sok tahu hasil berguru pada Kok Peng.


Tapi bukan soal itu. Lihat tubuh kakak yang molek itu. Telunjuknya berani menunjuk-nunjuk bagian dada Tasya yang mengembang, nyembul seperti dua gundukan dibungkus kain.


"Aku malu kak. Bila malam kakak terlelap tidur lalu tak sadarkan diri, tubuh terberai tak bertutup, pesona tubuh molek terumbar mengundang siapa saja yang menatapnya. Dan aku tak tega melihat kekudusan tubuh kakak yang laun menjelma menjadi putri yang cantik dambaan banyak laki-laki kampung, tak terbungkus semestinya. Sementara yang paling sensitif pun kakak tidak punya banyak pilihan. Satu-satunya yang warna merah mudah sudah banyak bolongnya. Maaf kalau aku terlalu seronok. Bukan, aku berbicara sebagai adik yang mencintai kakak dengan kasih philia."


"Bukan pula aku yang terlalu perduli dengan kakak, tapi tante Usik, istri Kok Peng yang nenyarankan agar upah kerja ku satu minggu itu diberikan bukan dalam bentuk uang, tapi pakaian dalam yang kalau dibeli di pasar, masih seharga tanah seperempat hektare. Itu karena kami semua mencintai kakak."terang Inyo baru saja meyelesaikan buku psikologi remadja yang diterjemahkan dari bahasa aslihnya, sex, love and dating, cuma membuat Tashya tertunduk lesu. Diam sejuta bahasa yang tersumbat di genggorokan. Menyumpahi jaman yang terus berputar, memaknai malam yang makin larut, sementara semerbak bau malam menyusupi dinding-dinding kalbu. Malam itu, aku mulai merasa menjadi putri. Tasya termenung, dan adiku telah menyadarkanku tentang arti kedewasaan, gadis, dan kerelaan hati. Aku malu. Aku tak lagi anak kecil. Sayang ibu yang harusnya mengajarkanku tentang ini harus lebih dahulu menyusul ajal, seperti juga ayah yang harus jadi korban keganasan oknum tentara permesta. Tapi roda kehidupan harus terus berputar. Aku harus harus menutup jengkal-jengkal kedukaanku, demi sebuah peradaban. Walau aku harus belajar melupakan, memaafkan sejarah dan kekejamannya tak beradab yang telah merebut kebahagiaan kecilku.***

Seoul, 22 July 2002

*APRI (Angkatan Perang Republik Indonesia) sekarang TNI

http://www.sulutlink.com/artikel/sastra0731.htm

Beri nilai untuk artikel ini :  

 

Username:

Password:

Auto login
mo gabung?

Waktu sekarang:
23rd Oktober 2007, 15:50
 
» Home
 
 
dari buku Tulus Tanpa Batas
Hidup sederhana berarti membebaskan hidup dari segala ikatan yang tidak diperlukan. Berbeda dengan kemiskinan, kesederhanaan merupakan suatum pilihan, keputusan untuk menjalani hidup kita yang terfokus pada apa yang benar-benar berarti
add kata bijak